Pemandangan Anak-anak Pekerja di Kongo |
Kita mungkin pernah berdebat bahkan sampe jotos jotosan hanya karena membela sesuatu yang tak perlu untuk dibela. Merasa handphone nya paling canggih, paling keren, paling kuat, dan paling mahal. Tapi kita lupa bahwa di sekitar kita masih banyak orang orang yang mungkin belum atau tidak seberuntung kita yang bisa menikmati teknologi dengan mudah. Apalagi kalo kita mau sedikit membuka hati dan pikiran. Bahwa ternyata, dibalik gadget kita yang canggih dan mahal itu, tertanam bulir bulir keringat dan tetesan darah anak anak di bawah umur asal Kongo. Mereka yang bekerja keras di bawah tekanan "rezim dan mafia" sebagai penambang kobalt (bahan baku pembuat batre gadget dan smartphone).
Terowongan Tambang Kongo |
"Aku akan menghabiskan waktu 24 jam di dalam terowongan. Aku tiba di pagi hari dan akan meninggalkan keesokan harinya ... Aku harus menenangkan diri saat menuruni terowongan. Ibu angkatku merencanakan untuk mengirimku ke sekolah, tapi ayah angkatku malah menentangnya, dia mengeksploitasiku untuk terus bekerja di tambang."
Diatas adalah kata-kata Paulus, seorang anak yatim piatu berusia 14 tahun yang memulai penambangan pada usia 12 tahun, berbicara kepada para peneliti dari Amnesty International (AI) tentang kondisi kerja yang berbahaya yang dihadapi oleh penambang kobalt di Republik Demokratik selatan Kongo (DRC) .
Dalam sebuah laporan terbaru yang dirilis oleh kelompok kampanye HAM global yang berbasis di London, pada 19 Januari dan berjudul, "This is what we die for: Human rights abuses in the Democratic Republic of the Congo power the global trade in cobalt," Amnesty International (AI) mendokumentasikan kondisi berbahaya di mana sebagian anak-anak masih berusia tujuh tahun dan orang dewasa yang bekerja untuk mengekstrak kobalt dari tambang.
Anak-anak Kongo Bekerja Mencari Cobalt |
Kobalt adalah sejenis logam tambang berwarna perak yang banyak dipakai sebagai bahan baku baterai gadget mobile nyaris semua vendor raksasa dunia. Baru-baru ini, lembaga hak asasi manusia Amnesty International mempublikasikan fakta menyesakkan dada soal penambangan kobalt di Kongo, Afrika.Amnesty International menggugat banyak perusahaan smartphone besar seperti Apple, Samsung, Microsoft, LG, Sony, Lenovo atas penggunaan kobalt yang berasal dari pemasok yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur, bahkan sampai usia 7 tahun.
"Etalase-etalase glamor berisi gadget dan pemasaran mewah teknologi saat ini sangat kontras dengan gambaran anak-anak yang menggotong karung besar berisi batu dan penambangan yang merayap dalam terowongan buatan tangan, mengabaikan resiko penyakit paru-paru yang bisa mereka derita," ujar Mark Dummett, ilmuwan dari Amnesty International.
Menurut lembaga HAM itu, saat ini ada 40.000 anak-anak yang bekerja di tambang-tambang kobalt di Kongo. Yang lebih tak berperi kemanusiaan, gaji anak-anak itu pasca 12 jam bekerja hanya USD 1 atau Rp 13 ribuan. Bandingkan dengan keuntungan miliaran dollar yang dikantongi perusahaan-perusahaan smartphone itu.
Memang, sekitar 50 persen kobalt yang digunakan untuk baterai Li-Ion berasal dari negara-negara di Afrika. Jadi, ada kemungkinan besar, baterai smartphone yang Anda gunakan saat ini berasal dari keringat anak-anak penambang di Afrika.
Rantai pasokan Cobalt
Tambang Cobalt Kongo |
Cobalt adalah mineral penting dalam baterai lithium-ion yang dapat diisi ulang digunakan untuk ponsel pintar, laptop dan mobil listrik. Diperkirakan bahwa ada lebih dari setengah dari total pasokan kobalt dunia berasal dari DRC.Laporan mengungkapkan bahwa penambang di wilayah selatan dari DRC menjual bijih mereka untuk pedagang independen, yang kemudian menjualnya kepada perusahaan besar untuk pengolahan dan ekspor.
Salah satu pembeli terbesar dari kobalt di wilayah ini adalah Kongo Dongfang Pertambangan Internasional (CDM), peneliti Amnesty internasional mengaku dalam laporannya. CDM merupakan anak perusahaan Zhejiang Huayou Cobalt yang berbasis di Zhejiang Huayou China. Salah satu produsen kobalt terbesar di dunia.
"CDM adalah tempat proses peleburan biji cobalt sebelum di ekspor ke Huayou Cobalt di Cina, yang kemudian akan diproses lebih lanjut," kata laporan AI (Amnesty Internasional). Produk kobalt diproduksi di Huayou Cobalt kemudian dijual ke produsen komponen baterai di Cina dan Korea Selatan. "Mereka, pada gilirannya, akan menjual kepada pembuat baterai yang mengaku memasok teknologi dan perusahaan pembuat mobil, termasuk Apple, Microsoft, Samsung, Sony, Daimler dan Volkswagen," kata kelompok hak asasi internasional tersebut.
Kondisi para pekerja anak di bawah umur
Anak-anak Kongo Mengangkut Cobalt |
Anak-anak ini tidak hanya bekerja selama berjam-jam di tambang kobalt, mereka juga sering mengangkat dan mengangkut biji dengan beban yang sangat berat, antara 20 hingga 40 kilogram per anak. Mereka juga bekerja tanpa alat pelindung seperti sarung tangan dan masker wajah.
Anak-anak Kongo Pemecah Cobalt |
Menurut Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC), paparan kronis debu yang mengandung kobalt dapat mengakibatkan penyakit paru-paru yang berpotensi fatal yang disebut dengan "penyakit paru logam keras," sementara menghirup partikel kobalt juga dapat menyebabkan "sensitisasi pernapasan, asma, sesak napas, serta penurunan fungsi paru paru."
Pertambangan Cobalt Kongo |
Tangisan Anak-anak Kongo |
Pemandangan Pada Pertambangan Cobalt Kongo |
Dari senyum kecut mereka. Dari tangisan anak anak kecil disana. Hingga tekanan beban mental dan fisik yang lebur di bawah todongan senjata. Lahirlah sebuah gadget yang di pajang dengan mewah yang kemudian kita beli setidaknya untuk selfie. Mari jadikan renungan bersama.Baca Juga: Negara Terkaya Didunia
Silahkan menuju halaman feedback kami agar kami bisa lebih baik.
0 Komentar untuk "Di Balik Smartphone Mewah Kita Ada Tetesan Keringat dan Darah Anak Anak Kongo"